I.
PENGERTIAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Secara etimologi budi pekerti
terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa
sangsekerta berarti kesadaran, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti
aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi
pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai
tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab
disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan
dalam bahasa Inggris disebtu ethics.
Senada
dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara
konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan
atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi,
sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
Budi
pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan
melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari
masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian,
cara berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap
menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan
sebagainya.
Pendidikan
budi pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan
kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar
manusia. Tata krama terdiri atas kata tata dan krama. Tata berarti adat, norma,
aturan. Krama sopan santun, kelakukan, tindakan perbuatan. Dengan demikian tata
krama berarti adat sopan santun menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Pengetian pendidikan
budi pekerti, pendidikan afektif, pendidikan nilai, pendidikan moral dan
pendidikan karakter seringkali membinggungkan dan mengaburkan satu sama lain. Menurut
Jarolimek (1990: 53-57) untuk menghindari kerancuan tersebut, maka perlu
dikemukakan pengertian masing-masing sebagai berikut :
1. Pendidikan Afektif
Pendidikan afektif ini berusaha
mengembangkan aspek emosi atau perasaan yang umumnya terdapat dalam pendidikan
humaniora dan seni, namun juga dihubungkan dengan system nlai-nilai hidup,
sikap dan kenyakinan untuk mengembangkan moral dan watak seseorang.
2. Pendidikan Nilai
Pengembangan pribadi siswa tentang pola
keyakinan yang terdapat dalam system keyakinan suatu masyarakat tentang hal
baik yang harus dilakukan dan hal buruk yang harus dihindari. Nilai-nilai hidup
dalam masyarakat sangat banyak jumlahnya sehingga pendidikan berusaha membantu
untuk mengenali, memilih, dan menetapkan nilai-nilai tertentu sehingga dapat
digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk berperilaku secara
konsisten dan menjadi kebiasaan dalam hidup bermasyarakat.
3. Pendidikan Moral
3
(tiga) alasan penting yang melandasi pelaksanaan
pendidikan moral di sekolah, antara lain : a). Perlunya karakter
yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi
pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki
kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang
kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup
manusia. b).
Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan
proses belajar mengajar. c).Pendidikan
moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral.
4.
Pendidikan
Karakter
Seseorang dapat dikatakan berkarakter
atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki
masyarakat serta digunakan sebgai kekuatan moral dalam hidupnya. Saat ini
pendidikan karakter merupakan prioritas utama departemen pendidikan nasioanal
yang dituangkan dalam Rencana aksi Nasional Pendidikan Karakter 2010. Pendidikan
karakter disebutkan sebagai pendidikan budi pekerti, nilai, moral, dan
pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
5.
Pendidikan
Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti merupakan
program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat
siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai
kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan
kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan atau sikap) tanpa
meninggalkan ranah kognitif ( berfikir rasional) dan ranah psikomotorik
(keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama).
II. FUNGSI
DAN TUJUAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
1.
FUNGSI
Menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (2001) fungsi
pendidikan budi pekerti bagi peserta didik ialah sebagai berikut :
a) Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik
peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungankeluarga dan masyarakat.
b) Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang
memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.
c) Perbaikan, untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan
kelemahan peserta didik.
d) Pencegahan, yaitu mencegah perilaku negatif yang tidak
sesuai dengan ajara agama dan budaya bangsa.
e) Pembersih, yaitu untuk memebersihkan diri dari penyakit
hati seperti sombong, iri, dengki, dan egois.
2. TUJUAN
Tujuan
pendidikan budi pekerti berdasarkan kerangka pemikiran para ahli yaitu
sebagai berikut :
a. Siswa memahami nilai - nilai budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal, nasional, dan
internasional melalui adat istiadat, hukum, undang - undang dan tatanan
antarbangsa.
b. Siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara
konsisiten dalam mengambil keputusan budi pekerti di tengah - tengah rumitnya
kehidupan bermasyarakat saat ini.
c. Siswa mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat
secara rasional.
d. Siswa mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik
bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggungjawab
atas tindakannya.
Secara umum
bertujuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan,mengkaji
dan mempersonalisasikan nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang
memungkinkan tumbuh dan berkembang, berakhlak mulia dalam diri manusia serta
mewujudkannya dalam perilaku sehari - hari, dalam berbagai konteks sosial -
budaya yang berbhinneka sepanjang hayat.
III.
RUANG LINGKUP DAN UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Ruang lingkup materi budi pekerti
menurut Milan Rianlo (2001 : 4 -10) secara garis besar dapat dikelompokkan
dalam tiga hal nilai akhlak yaitu :
1.
Akhlak
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
a.
Mengenal
Tuhan, meliputi :
-
Tuhan
sebagai Pencipta
-
Tuhan
sebagai Pemberi (pengasih, penyayang)
-
Tuhan
sebagai Pemberi Balasan (baik dan buruk)
b. Hubungan Akhlak kepada Tuhan Yang Maha Esa, meliputi :
-
Ibadah/Menyembah
-
Meminta
tolong kepada Tuhan
2. Akhlak terhadap Sesama Manusia
a. Terhadap diri sendiri
b. Terhadap orang tua
c. Terhadap sesama
d. Terhadap orang yang lebih muda
3. Akhlak terhadap Lingkungan
a. Alam (flora dan fauna)
b. Sosial-Masyarakat-Kelompok
Dalam pendidikan budi
pekerti, selain memperhatikan kognitif dan moral anak, perlu juga diperhatikan
segi empati dan kecerdasan emosional anak. Secara terperinci keempat unsur tersebut,
yaitu perkembangan kognitif anak, perkembangan moral anak, empati dan
kecerdasan emosional.
1. Perkembangan Kognitif menurut Piaget
Piaget mengidentifikasi 4 (empat) tahapan utama
perkembangan kognitif
yaitu :
a.
Tahap Sensorimotor (lahir – 2 tahun)
Perkembangan kognitif bayi sampai kira-kira
berusia 2 tahun pada umumnya mengandalkan observasi dari panca indera dan
gerakan tubuh mereka. Satu tanda dari perkembangan ini adalah memahami objek
tetap / permanen. Bayi berkembang dengan cara merespon kejadian dengan gerak
refleks atau ’pola kesiapan’. Mereka belajar melihat diri mereka sebagai bagian
dari objek yang ada di lingkungan.
b.
Tahap Pra-operasional (2 – 7 tahun)
Pra-operasional ditandai oleh adanya
pemakaian kata-kata lebih awal dan memanipulasi simbol-simbol yang
menggambarkan objek atau benda dan keterikatan atau hubungan di antara mereka.
Pemikiran atau sifat anak yang aneh /ganjil menunjukkan fakta bahwa mereka pada
umumnya tidak mampu menunjukkan operations (eksploitasi) atau jika
mereka bisa menunjukkan operation maka keadaannya akan terbatas. Mental
operations pada tahap ini sifatnya fleksibel dan dapat berubah. Tahap
pra-operasional ini juga ditandai oleh beberapa hal, antara lain :
egosentrisme, ketidakmatangan pikiran / ide / gagasan tentang sebab-sebab dunia
di fisik, kebingungan antara simbol dan objek yang mereka wakili, kemampuan
untuk fokus pada satu dimensi pada satu waktu dan kebingungan tentang identitas
orang dan objek.
c.
Tahap Operasional Konkrit (6 atau 7 tahun – 12 tahun)
Pada tahap konkrit operasional, penambahan
dan pengurangan dalam hitung-hitungan bukan merupakan aktivitas yang mudah.
Konkrit operasional anak mengenal bahwa ada hubungan antara angka-angka dan
bahwa operasi dapat dilaksanakan menurut aturan tertentu. Pada tahap ini anak
menunjukkan permulaan dari kapasitas logika orang-orang dewasa. Mereka mengerti
aturan dasar dari logika. Bagaimanapun juga, proses berfikir, atau operasi,
pada umumnya melibatkan objek yang kelihatan (konkrit) daripada ide yang
abstrak. Egosentrisme pada tahap ini sudah mulai berkurang. Kemampuan mereka
untuk menggunakan peran dari orang lain dan melihat dunia, dan mereka sendiri,
dari perspektif orang-orang lain sudah berkembang dengan pesat. Mereka mengenal
bahwa orang melihat sesuatu dengan cara yang berbeda, karena perbedaan situasi
dan perbedaan nilai. Mereka dapat fokus pada lebih dari satu dimensi pada
beberapa waktu. Pada tahap ini juga sudah menunjukkan pemahaman akan hukum
kekekalan (konservasi).
d.
Tahap Operasional Formal ( 12 tahun ke
atas)
Tingkat operasi formal merupakan tahapan
terakhir dari skema Piaget, yang merupakan tingkatan dari kedewasaan
kognitif. Operasi formal biasanya dimulai pada masa
pubertas, sekitar umur 11 atau 12 tahun. Akan tetapi tidak semua anak memasuki
tingkatan ini pada saat pubertas, dan beberapa orang tidak pernah mencapainya.
Tugas utama pada tahap ini meliputi kemampuan klasifikasi, berpikir logis, dan
kemampuan hipotetis.
2. Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Kohlberg membagi perkembangan moral
seseorang dalam tiga tinngkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat
konvensional, dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut
Kohlberg membagi menjadi enam tahap yaitu :
Pada tingkat prakonvensional kita menemukan:
Tahap I – Orientasi hukuman dan kepatuhan:
Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan
yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai
manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 – Orientasi relativis-intrumental:
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan
kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan
antarmanusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat unsur-unsur
kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu
selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal ”Jika anda menggaruk punggungku, nanti aku
akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan soal kesetiaan, rasa
terima kasih atau keadilan.
Pada tingkat konvensional kita menemukan:
Tahap 3 – Orientasi kesepakatan antara pribadi/
Orientasi anak manis. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan
atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak
konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip mengenai apa yang diangap
tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang ’wajar’. Perilaku kerap kali
dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya
menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan
dengan berperilaku ”baik”.
Tahap 4 – Orientasi hukum dan ketertiban:
Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan
sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa
hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi
tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku
menurut kewajibannya.
Pada tingkat pasca-konvensional kita melihat:
Tahap 5 – Orientasi kontrak sosial legalistis:
Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan
utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak
bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh
seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesedaran yang jelas mengenai relativisme
nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang
sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati secara
konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai”
dan ”pendapat” pribadi. hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan
legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai
kegunaan sodial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka ”hukum dan ketertiban”
seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas
merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban. Inilah moralitas ”resmi”
pemerintahan Amerika Serikat dan mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran
para penyusun Undang-Undang.
Tahap 6 – Orientasi Prinsip Etika Universal:
Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih
sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan
konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas,
kategoris imperatif). Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal
mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa
hormat terhadap martabat manusia sebai person individual.
3.
Empati
Empati adalah kemampuan untuk
mengetahui dan dapat merasakan keadaan yang dialami orang lain. Dasar empati
adalah kesadaran. Pemahaman ini perlu sebagai bagian dalam proses penanaman
nilai hidup. Dengan berempati orang mampu menyelami dan memahami perasaan orang
lain meski bukan berarti menyetujui. Untuk sampai pada kemampuan berempati
orang harus mempunyai kesadaran dan pemahaman akan perasaannya sendiri terlebih
dahulu.
4.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah
gabungan kemampuan emosional dan sosial. Seseorang yang mempunyai kecerdasan
emosional akan mampu menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupan karena
biasanya orang yang mempunyai kecerdasan emosional mempunyai kesadaran akan
emosinya, mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya karena selalu tergerak
melakukan aktivitas dengan baik dan ingin mencapai tujuan yang diinginkannya,
serta dapat mengungkapkan perasaan dengan baik dan kontrol dirinya sangat kuat.
IV.
PENERAPAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH
Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti
di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif
strategi secara terpadu,
yaitu :
- dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kwarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah).
- dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
- dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan.
- dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.
V.
HAMBATAN DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan
guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua
di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai.
Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti
di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu
membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan
berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah
dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi
singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang di ajarkan di sekolah dengan apa
yang ajarkan orang tua di rumah.
Selain itu, agar pendidikan
budi pekerti di sekolah dan di rumah dapat berjalan searah,
sebaiknya bila memungkinkan orang tua murid hendaknya juga dilibatkan dalam
proses identifikasi kebutuhan program pendidikan budi pekerti di
sekolah.
Dengan pelibatan orang tua murid dalam
proses perencanaan program pendidikan budi pekerti di sekolah, diharapkan orang
tua murid tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka kepada pihak sekolah, tetapi
juga dapat ikut serta mengambil tanggung jawab dalam proses
pendidikan budi pekerti anak-anak mereka di keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar