JellyPages.com

Senin, 03 September 2012

Hakekat Pendidikan Budi Pekerti


I.         PENGERTIAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris disebtu ethics.
Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.
Pendidikan budi pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata krama terdiri atas kata tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama sopan santun, kelakukan, tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti adat sopan santun menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Pengetian pendidikan budi pekerti, pendidikan afektif, pendidikan nilai, pendidikan moral dan pendidikan karakter seringkali membinggungkan dan mengaburkan satu sama lain. Menurut Jarolimek (1990: 53-57) untuk menghindari kerancuan tersebut, maka perlu dikemukakan pengertian masing-masing sebagai berikut :
1.    Pendidikan Afektif
Pendidikan afektif ini berusaha mengembangkan aspek emosi atau perasaan yang umumnya terdapat dalam pendidikan humaniora dan seni, namun juga dihubungkan dengan system nlai-nilai hidup, sikap dan kenyakinan untuk mengembangkan moral dan watak seseorang.
2.    Pendidikan Nilai
Pengembangan pribadi siswa tentang pola keyakinan yang terdapat dalam system keyakinan suatu masyarakat tentang hal baik yang harus dilakukan dan hal buruk yang harus dihindari. Nilai-nilai hidup dalam masyarakat sangat banyak jumlahnya sehingga pendidikan berusaha membantu untuk mengenali, memilih, dan menetapkan nilai-nilai tertentu sehingga dapat digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk berperilaku secara konsisten dan menjadi kebiasaan dalam hidup bermasyarakat.
3.    Pendidikan Moral
3 (tiga)  alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain : a). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. b). Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. c).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral.
4.    Pendidikan Karakter
Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebgai kekuatan moral dalam hidupnya. Saat ini pendidikan karakter merupakan prioritas utama departemen pendidikan nasioanal yang dituangkan dalam Rencana aksi Nasional Pendidikan Karakter 2010. Pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan budi pekerti, nilai, moral, dan pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
5.    Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan atau sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif ( berfikir rasional) dan ranah psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama).

II.      FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
1.    FUNGSI
Menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (2001) fungsi pendidikan budi pekerti bagi peserta didik ialah sebagai berikut :
a)   Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungankeluarga dan masyarakat.
b)   Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.
c)   Perbaikan, untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan peserta didik.
d)  Pencegahan, yaitu mencegah perilaku negatif yang tidak sesuai dengan ajara agama dan budaya bangsa.
e)   Pembersih, yaitu untuk memebersihkan diri dari penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, dan egois.


2.  TUJUAN
Tujuan pendidikan budi pekerti berdasarkan kerangka pemikiran para ahli yaitu sebagai berikut :
a.  Siswa memahami nilai - nilai budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal, nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undang - undang dan tatanan antarbangsa.
b.  Siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisiten dalam mengambil keputusan budi pekerti di tengah - tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini.
c.   Siswa mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat secara rasional.
d.  Siswa mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggungjawab atas tindakannya.
Secara umum bertujuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan,mengkaji dan mempersonalisasikan nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembang, berakhlak mulia dalam diri manusia serta mewujudkannya dalam perilaku sehari - hari, dalam berbagai konteks sosial - budaya yang berbhinneka sepanjang hayat.
III.   RUANG LINGKUP DAN UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Ruang lingkup materi budi pekerti menurut Milan Rianlo (2001 : 4 -10) secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga hal nilai akhlak yaitu :
1.    Akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa
a.       Mengenal Tuhan, meliputi :
-          Tuhan sebagai Pencipta
-          Tuhan sebagai Pemberi (pengasih, penyayang)
-          Tuhan sebagai Pemberi Balasan (baik dan buruk)
b.      Hubungan Akhlak kepada Tuhan Yang Maha Esa, meliputi :
-          Ibadah/Menyembah
-          Meminta tolong kepada Tuhan
2.    Akhlak terhadap Sesama Manusia
a.       Terhadap diri sendiri
b.      Terhadap orang tua
c.       Terhadap sesama
d.      Terhadap orang yang lebih muda
3.    Akhlak terhadap Lingkungan
a.       Alam (flora dan fauna)
b.      Sosial-Masyarakat-Kelompok
Dalam pendidikan budi pekerti, selain memperhatikan kognitif dan moral anak, perlu juga diperhatikan segi empati dan kecerdasan emosional anak. Secara terperinci keempat unsur tersebut, yaitu perkembangan kognitif anak, perkembangan moral anak, empati dan kecerdasan emosional.
1.    Perkembangan Kognitif menurut Piaget
Piaget mengidentifikasi 4 (empat) tahapan utama perkembangan kognitif yaitu :
a.    Tahap Sensorimotor (lahir – 2 tahun)
Perkembangan kognitif bayi sampai kira-kira berusia 2 tahun pada umumnya mengandalkan observasi dari panca indera dan gerakan tubuh mereka. Satu tanda dari perkembangan ini adalah memahami objek tetap / permanen. Bayi berkembang dengan cara merespon kejadian dengan gerak refleks atau ’pola kesiapan’. Mereka belajar melihat diri mereka sebagai bagian dari objek yang ada di lingkungan.
b.    Tahap Pra-operasional (2 – 7 tahun)
Pra-operasional ditandai oleh adanya pemakaian kata-kata lebih awal dan memanipulasi simbol-simbol yang menggambarkan objek atau benda dan keterikatan atau hubungan di antara mereka. Pemikiran atau sifat anak yang aneh /ganjil menunjukkan fakta bahwa mereka pada umumnya tidak mampu menunjukkan operations (eksploitasi) atau jika mereka bisa menunjukkan operation maka keadaannya akan terbatas. Mental operations pada tahap ini sifatnya fleksibel dan dapat berubah. Tahap pra-operasional ini juga ditandai oleh beberapa hal, antara lain : egosentrisme, ketidakmatangan pikiran / ide / gagasan tentang sebab-sebab dunia di fisik, kebingungan antara simbol dan objek yang mereka wakili, kemampuan untuk fokus pada satu dimensi pada satu waktu dan kebingungan tentang identitas orang dan objek.
c.    Tahap Operasional Konkrit (6 atau 7 tahun  – 12 tahun)
Pada tahap konkrit operasional, penambahan dan pengurangan dalam hitung-hitungan bukan merupakan aktivitas yang mudah. Konkrit operasional anak mengenal bahwa ada hubungan antara angka-angka dan bahwa operasi dapat dilaksanakan menurut aturan tertentu. Pada tahap ini anak menunjukkan permulaan dari kapasitas logika orang-orang dewasa. Mereka mengerti aturan dasar dari logika. Bagaimanapun juga, proses berfikir, atau operasi, pada umumnya melibatkan objek yang kelihatan (konkrit) daripada ide yang abstrak. Egosentrisme pada tahap ini sudah mulai berkurang. Kemampuan mereka untuk menggunakan peran dari orang lain dan melihat dunia, dan mereka sendiri, dari perspektif orang-orang lain sudah berkembang dengan pesat. Mereka mengenal bahwa orang melihat sesuatu dengan cara yang berbeda, karena perbedaan situasi dan perbedaan nilai. Mereka dapat fokus pada lebih dari satu dimensi pada beberapa waktu. Pada tahap ini juga sudah menunjukkan pemahaman akan hukum kekekalan (konservasi).
d.   Tahap Operasional Formal ( 12 tahun ke atas)
Tingkat operasi formal merupakan tahapan terakhir dari skema Piaget, yang merupakan tingkatan dari kedewasaan kognitif. Operasi formal biasanya dimulai pada masa pubertas, sekitar umur 11 atau 12 tahun. Akan tetapi tidak semua anak memasuki tingkatan ini pada saat pubertas, dan beberapa orang tidak pernah mencapainya. Tugas utama pada tahap ini meliputi kemampuan klasifikasi, berpikir logis, dan kemampuan hipotetis.
2.    Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Kohlberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tinngkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut Kohlberg membagi menjadi enam tahap yaitu :
Pada tingkat prakonvensional kita menemukan:
Tahap I – Orientasi hukuman dan kepatuhan: Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 – Orientasi relativis-intrumental: Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal ”Jika anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
Pada tingkat konvensional kita menemukan:
Tahap 3 – Orientasi kesepakatan antara pribadi/ Orientasi anak manis. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang ’wajar’. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.
Tahap 4 – Orientasi hukum dan ketertiban: Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.
Pada tingkat pasca-konvensional kita melihat:
Tahap 5 – Orientasi kontrak sosial legalistis: Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesedaran yang jelas mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sodial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka ”hukum dan ketertiban” seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban. Inilah moralitas ”resmi” pemerintahan Amerika Serikat dan mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran para penyusun Undang-Undang.
Tahap 6 – Orientasi Prinsip Etika Universal: Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif). Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebai person individual.
3.    Empati
Empati adalah kemampuan untuk mengetahui dan dapat merasakan keadaan yang dialami orang lain. Dasar empati adalah kesadaran. Pemahaman ini perlu sebagai bagian dalam proses penanaman nilai hidup. Dengan berempati orang mampu menyelami dan memahami perasaan orang lain meski bukan berarti menyetujui. Untuk sampai pada kemampuan berempati orang harus mempunyai kesadaran dan pemahaman akan perasaannya sendiri terlebih dahulu.

4.    Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah gabungan kemampuan emosional dan sosial. Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional akan mampu menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupan karena biasanya orang yang mempunyai kecerdasan emosional mempunyai kesadaran akan emosinya, mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya karena selalu tergerak melakukan aktivitas dengan baik dan ingin mencapai tujuan yang diinginkannya, serta dapat mengungkapkan perasaan dengan baik dan kontrol dirinya sangat kuat.

IV.   PENERAPAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH
Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu, yaitu :
  1. dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kwarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah).
  2. dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
  3. dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan.
  4. dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.
V.  HAMBATAN DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai.
Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang di ajarkan di sekolah dengan apa yang ajarkan orang tua di rumah.
Selain itu, agar pendidikan budi pekerti di sekolah dan di rumah dapat berjalan searah, sebaiknya bila memungkinkan orang tua murid hendaknya juga dilibatkan dalam proses identifikasi kebutuhan program pendidikan budi pekerti di sekolah.
Dengan pelibatan orang tua murid dalam proses perencanaan program pendidikan budi pekerti di sekolah, diharapkan orang tua murid tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka kepada pihak sekolah, tetapi juga dapat ikut serta mengambil tanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka di keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar